Wednesday, September 28, 2016

Kapan - Sajak 1


Kapan


Setiap hari, setiap saat aku bertanya. Menyangkut soal dirimu.


Kapan?


Kapan aku mulai mengenalmu?


Kapan awal kita saling berbicara? Menyapa satu sama lain? 

Bercanda? Tertawa ria?


Kapan rasa ini muncul?


Kapan kamu tau perasaanku?


Kapan awal kau mulai mengacuhkan aku?


Dan, kapan rasa ini akan hilang?


Karya: Faiza Nazari

Friday, September 9, 2016

Cerpen by Faizanaza - Getaran Hati


Getaran Hati
Cerpen II by faizanaza

            Aku memasuki ruang kelas kursusku. Saat pintu nya aku buka, udara sejuk dari dalam langsung menimpa tubuhku. Dingin. “Assalammualaikum.”
            Dikelas sudah ada yang mengajar. Dia adalah Kakak Hena—guru biologi. Dia sedang duduk di kursi guru. Aku menyalami dan mencium punggung telapak tangan nya sebelum aku duduk di kursi kosong yang ada disebelah Azra.
            Hari ini tidak seperti biasanya. Hari ini aku bersama teman-temanku duduk dibarisan ketiga, di barisan khusus anak laki-laki pula. Dikarenakan salah satu temanku ada yang sedang meriang, dan sebuah pendingin ruangan diletakkan dihadapan barian kursi-kursi para putrid. Jadi, kami singgah di tempat para putra.
            Aku mengeluarkan buku modulku. Aku membuka halaman yang Azra beri tahu padaku, halaman 98. Kak Hena sedang menerangi pelajaran. Suara kak Hena menggema di kelas. Tapi tiba-tiba suara nya terhenti akibat seseorang yang mengucapkan salam, “Assalammualaikum.”
            Laki-laki itu masuk dan melakukan aktivitas yang sebelumnya aku lakukan juga—menyalami dan mencium punggung telapak tangan nya. Ya ampun, bahkan dari dia masuk ke kelas sampai ia duduk di kursi nya, mataku tak ada henti-henti nya menatap nya. Dia selalu memakai jaket hitam favorit nya.tapi saat ia sudah duduk di kursi nya, ia pasti melepas jaket nya.
            Setelah kami mengerjakan soal-soal biologi dari kak Hena. Sebuah bel yang menandakan bahwa saatnya pergantian jam telah berbunyi. Kak Hena lalu meninggalkan kelas kami. Dan sekarang digantikan oleh guru Bahasa Indonesia, Kak Lusi.ntah mengapa setiap aku di ajari oleh Kak Lusi aku selalu deg-degan.
            Tapi aku suka dengan Kak Lusi. Gaya pakaian nya sederhana, namun tetap cantik. Tubuh nya pun langsing, tapi menurutku kurang tinggi. Terus yang bikin dia jadi manis itu kalau menurutku, wajah nya yang putih dengan tahi lalat yang ada didekat bibir tepat nya disebelah kanan. Dan pakaian yang ia kenakan hari ini adalah rok hitam bermotif—motif rok nya juga tidak terlalu ramai, dan blouse lengan panjang yang berwarna merah muda, serta kerudungan nya yang berwarna merah muda. Pokok nya kelihatan cerah dan segar.
            Saat masuk, Kak Lusi langsung duduk. Membuka buku absen. Mengabsen kami satu per satu.
            Setelah mengabsen, barulah Kak Lusi menerangi pelajaran yang akan dipelajari hari ini. Hari ini dia mengajari tentang EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Kak Lusi menuliskan kata sebanyak murid-murid yang ada di kelas, yaitu dua belas di papan tulis. Perintah nya, tentukan kata itu sudah benar apa belum penulisan nya. Jika sudah, beri tanda ceklis. Dan jika belum, beritanda silang lalu sertakan pembenaran nya disamping kata yang ditulis Kak Lusi.
            Satu per satu anak telah maju. Saat nama dia—Fran—yang giliran dipanggil. Aku terus melihat nya, melihat ia maju, menulis jawaban nya di papan tulis dan kembali duduk di kursi. Namun, bagaikan ada sesuatu yang menggelitiki sehingga hatiku bergetar. Sebelum dia benar-benar meletakkan bokong nya dikursi nya, dia sempat melihatku, menatapku. Bahkan aku tak sempat membuang pandangan ku. Aku jadi malu sendiri.
            Ketahuan sudah kalau aku selalu memperhatikan nya dalam diam.
            Aku mencoba untuk rileks, walau sebenar nya hatiku masih ber-disko. Aku mencoba menganggap bahwa kejadian itu tak pernah terjadi. Tetapi, sulit sekali. Baying-bayang kejadian tadi terus menghantuiku. Iris mata nya yang berwarna cokelat terlihat jelas. Melihatku dengan tatapan seperti, apa ya? Sinis, mungkin. Namun tidak juga. Ah sudahla. Dia hanya melihatmu. Masa iya aku se-baper ini hanya karena diperhatikan oleh iris mata cokelat nya?
            “Elma.” Kali ini kak Lusi memanggil nama ku. Aku melangkahkan kaki ke depan, mengambil spidol yang ada di meja guru. Jarak dari meja guru dengan kursi Fran tidak jauh, bahkan bisa dibilang sangat dekat. Aku sedikit gemetar saat menuliskan jawaban di papan tulis. Ya, karena Fran. Saat ini aku berharap kalau Fran tidak mengetahui kalau aku sedang gemetaran.
            Kak Lusi melanjutkan pelajaran nya lagi. Saat ini membahas tentang garis hubung (-). Dalam mengajar nya, kak Lusi kadang memberikan beberapa pertanyaan dengan kami. Kau tahu? Beberapa pertanyaan dijawab olehku dan dia. Oke, anggap aku lebay. Tapi sungguh, aku sangat senang sekali. Dan hanya karena itu saja hatiku kembali bergetar.
oO0Oo
            Saat nya bel pulang dibunyikan. Pukul 19.00, para murid langsung berhamburan keluar dari kelas. Bukan hanya dari kelasku saja, bahkan kelas lain pun juga ada. Sambil menunggu supir pribadiku menjemput, aku duduk di kursi yang disediakan di ruang tunggu. Saat duduk aku juga memperhatikan Fran, menaiki motor nya lalu mengeluarkan motor nya dari parkiran.
            Boom! Sebelum motornya melesat, Fran kembali menatapku. Mata kami bertemu kembali. Lampu-lampu di dalam hati ku pasti kembali dinyalakan. Musk-musik kembali dimainkan. Sehingga hatiku bergetar kembali.

Friday, September 2, 2016

Yang Disia-siakan - Cerpen by Faizanaza


Yang Disia-siakan
Cerpen by faizanaza

            Milano harus kembali menuju ruang OSIS. Hendak mengambil beberapa brosur yang tertinggal. Milano membuka pintu ruang OSIS tersebut. Pintu berdenyit. Suara khas dari pintu ruang OSIS, beda dari yang lain.
            Milano berjalan menuju meja yang biasa ia pakai saat rapat OSIS, meja sang ketua OSIS.
            “Aku takut.” Suara perempuan tiba-tiba. Milano yang sedang memeriksa brosur-brosur nya, dengan spontan menghentikan aktivitas nya.
            “Tenang saja, sayang.” Kali ini bukan suara perempuan. Melainkan suara berat, khas remaja laki-laki.
            Milano semakin penasaran. Di ruang OSIS tidak ada ruang tertutup, kecuali ruangan kecil yang biasa digunakan oleh para anggota OSIS untuk mengganti busana saat sedang ada acara. Milano berjalan menuju ruangan kecil itu.
            Dengan sedikit ragu-ragu Milano menyeka tirai biru yang menyelimuti ruangan kecil itu. Sedikit ragu-ragu.
            Sreeet
            Dua murid—satu murid perempuan dan satu murid laki-laki—menoleh secara bersamaan saat tirai itu terbuka dengan sempurna. Yang perempuan nampak terkejut. Sementara yang laki-laki terlihat santai, seakan mata nya berbicara, Hey kenapa? Cemburu?
            “Milano, aku bisa jelaskan.” Ucap sang murid perempuan itu.
            Milano berjalan menuju meja ketua OSIS kembali, mengambil semua brosur nya. Belum sempat Milano keluar dari ruang OSIS, tangan nmurid perempuan itu menahan nya.
            “Milano, tunggu, dengarkan aku. Kumohon.” Pinta murid perempuan itu.
            “Tak perlu Emily.” Lirih Milano. Milano berbalik, menunjuk kepada murid laki-laki tadi. “Benar kata mereka. Kau menduaiku. Kau berpacaran dengan David.”
            “Tidak… itu hanya issue.” Elak Emily.
            “Sudahlah Em. Aku tidak tau apa masalahmu, Em.” Laki-laki itu—David—kini berjalan mendekat Emily, merangkul pundak nya. “Aku tidak tau apa masalahmu, Em. Kau tinggal bilang saja pada laki-laki cupu di depanmu ini kalau kita sekarang sudah berpacaran.”
            “Em?” Kini suara Milano yang bertanya. Suara nya sedikit bergetar.
            “Baik Milano. Aku minta maaf. Aku memang sudah berpacaran dengan… David. Maaf jika aku tidak memberi tahu kau dari awal. Kenapa? Karena kau terlalu baik. Aku tak sanggup.” Ucap Emily. Kali ini air mata Emily telah membasahi sebagian besar wajah nya yang putih dan mulus.
            “Aku tak mengerti Em. Kau menyukai David dari awalkan? Kenapa kau berpura-pura menyayangiku sementara kau sangat mencintai dan menyayangi nya?” Suasana berubah. Menjadi sangat tegang. Emily menggelengkan kepala nya lambat-lambat.
            “Kita berakhir, Em.” Kini Milano pergi meninggalkan Emily dan David yang masih berdiri setelah dirinya mengucapkan kalimat itu. Kalimat itu terasa menusuk di dada Emily.
            Ada sedikit perasaan menyesal di lubuk hati Emily yang paling dalam. Entahlah. Emily seperti tidak rela jika Milano benar-benar pergi dari kehidupan nya. Tanpa Milano tahu, Milano sangat berarti bagi Emily. Emily mulai membenci dirinya sendiri karena dirinya telah menyia-nyiakan Milano—orang yang tulus mencintai nya dan selalu ada kapan pun dirinya membutuhkan nya.