Faiza nazari
viii-3
no. absen : 12
BANGUNAN BERSEJARAH & tempat ibadah BERSEJARAH PENINGGALAN HINDIA
BELANDA
DI D.K.I JAKARTA
v MUSEUM FATAHILLAH
Staadhuis
itulah nama semula gedung Museum Sejarah Jakarta yang berada dijalan Taman
Fatahillah Nomor 1 Jakarta Barat. Luas areal seluruhnya 13.588 m2, dan bangunan
yang berada diatasnya tersebut, dilindungi oleh Pemerintah Pusat maupu
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Keputusan Mendikbud No.28/M/1988 dan
keputusan Gubernur DKI Jakarta No.475 tahun 1993).
Menurut
catatan, bahwa pembangunan gedung Staadhuis itu sudah tiga kali pada tempat
yang sama, tetapi pada kurun waktu yang berbeda. Pertama pada tahun 1620,
dibangun oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoen Coen, yang digunakan sebagai
Staadhuis sampai tahun 1627. Karena kegiatan VOC semakin meningkat, maka
dibangun gedung baru ditempat yang sama. Gedung baru itu hanya bertahan sampai
tahun 1707. Selanjutnya Gubernur Jenderal Joan Van Hoorn, pada tanggal 25
Januari 1707, mulai membangun gedung baru (gedung yang sekarang), diatas
puing-puing gedung Staadhuis yang lama. Peletakan batu pertama oleh putri
Gubernur Jenderal Joan Van Hoorn, yang bernama Petrolina Willemina Van Hoorn.
Adapun perencanaannya oleh WJ. Van Der Veld, dan pembuatannya dipimpin oleh J.
Kemmers. Staadhuis yang cukup besar dan megah itu pembangunannya baru selesai
pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Abraham Van Riebeeck, yang kemudian
diresmikan pada tanggal 10 Juli 1710.
Sultan
Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram Yogyakarta, pernah menyerang Batavia dua
kali, yakni pada tahun 1628 dan tahun 1629. Pada penyerangan yang kedua itu
pasukan Sultan Agung mampu membakar gedung Staadhuis tersebut. Gedung Staadhuis
itu ternyata tidak hanya berfungsi sebagai kantor Balai Kota saja, akan tetapi
juga sebagai kantor Dewan Urusan Perkawinan, Kantor Balai Harta (Jawatan
Pegadaian) dan kantor Pengadilan (Raad Van Justitie). Oleh karena itu gedung
Staadhuis tersebut oleh masayarakat dikenal juga sebagai Gedung Bicara
Karena
gedung juga berfungsi sebagai kantor pengadilan maka dilengkapi pula dengan sel
atau ruang penjara sementara menunggu fonis pengadilan. Ruang penjara itu
berada di lantai dasar dibagian belakang. Hal yang menarik adalah, bahwa
digedung Staadhuis itu pernah ditawan beberapa pahlawan nasional, antara lain
Pangeran Diponegoro, sebelum dibuang ke Makasar (Ujung Pandang), dan Cut Nyak
Dien pahlawan wanita yang berasal dari Daerah Istimewa Aceh. Selain itu pula
orang Cina dan bahkan orang Belanda yang melawan pemerintah. Kasusnya
bermacam-macam, selain kasus politik ada juga kasus utang-piutang dan kasus
kriminal.
Pada
tahun 1925 sampai Jepang masuk ke Indonesia, gedung Staadhuis tersebut menjadi
Balaikota Propinsi Jawa Barat oleh pemerintah Hindia Belanda. Setelah perang
kemerdekaan sampai dengan bulan desember 1945 menjadi Balai kota Propinsi Jawa
Barat dan selanjutnya dijadikan Kantor Kodim 0503 Jakarta Barat, sedangkan
dibagian belakang untuk tempat tinggal keluarga. Ketika dijadikan kantor KODIM
0503, Taman Fatahillah didepannya yang luas itu pernah berfungsi sebagai
terminal bis kota. Akhirnya pada tahun 1972 Pemerintah DKI Jakarta memugar
gedung tersebut dan diresmikan sebagai menjadi Museum Sejarah Jakarta pada
tanggal 30 Maret 1974.
v
GEREJA KATEDRAL
Gereja
Katedral Jakarta. Nama resminya adalah Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga,
De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten
Hemelopneming) adalah sebuah gereja di Jakarta.
Gedung gereja ini diresmikan pada 1901 dan dibangun dengan arsitektur neo-gotik dari Eropa, yakni arsitektur yang sangat lazim
digunakan untuk membangun gedung gereja beberapa abad yang lalu.
Gereja
yang sekarang ini dirancang dan dimulai oleh Pastor Antonius
Dijkmans dan peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Provicaris
Carolus Wenneker. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Cuypers-Hulswit ketika Dijkmans tidak bisa melanjutkannya, dan
kemudian diresmikan dan diberkati pada 21 April 1901 oleh Mgr.
Edmundus Sybradus Luypen, SJ, Vikaris Apostolik Jakarta.
Katedral
yang kita kenal sekarang sesungguhnya bukanlah gedung gereja yang asli di
tempat itu, karena Katedral yang asli diresmikan pada Februari 1810, namun pada
27 Juli 1826 gedung Gereja itu terbakar bersama 180 rumah penduduk di
sekitarnya. Lalu pada tanggal 31 Mei 1890 dalam cuaca yang cerah, Gereja itu
pun sempat roboh.
v
MUSEUM BAHARI
Museum Bahari Indonesia. Di museum ini kita
bisa melihat berbagai peninggalan budaya bahari dari masyarakat Indonesia sejak
masa lampau. Selain itu, terdapat koleksi biota laut serta data keragaman
hayati yang dimiliki perairan negeri kita.
Awalnya,
gedung museum ini adalah gudang penyimpanan komoditas perdagangan utama VOC.
Komoditas tersebut antara lain kopi, rempah-rempah, tekstil dan bahan tambang
seperti timah serta tembaga. Ketika era beralih ke masa pendudukan Jepang, gedung-gedung
ini beralih fungsi sebagai gudang logistik tentara Jepang.
Pasca
kemerdekaan, gedung ini pun pernah digunakan PLN dan PTT sebagai gudang.
Barulah pada tahun 1976, bangunan ini mengalami pemugaran dan direvitalisasi
sebagai sebuah cagar budaya. Gedung ini pun kemudian diresmikan menjadi Museum
Bahari Indonesia pada tanggal 7 Juli 1977.
Di
museum ini dipamerkan koleksi berbagai jenis perahu tradisional dan modern,
baik dalam bentuk asli maupun model atau miniatur. Selain itu, terdapat aneka
cerita rakyat (folklore) dan lagu masyarakat nelayan Nusantara. Ada pula
berbagai model alat penunjang pelayaran, seperti jangkar, teropong, alat-alat
navigasi seperti kompas dan miniatur mercusuar. Teknologi pembuatan kapal
tradisional juga ikut dipamerkan.
Museum
ini juga menyimpan matra TNI AL, koleksi kartografi dan maket pulau Onrust.
Informasi yang cukup lengkap mengenai tokoh-tokoh serta pahlawan dari kerajaan
maritim nasional, antara lain Sriwijaya dan Samudera Pasai dapat kita peroleh
di museum ini. Alat persenjataan maritim seperti meriam juga ikut melengkapi
koleksi museum ini.
Museum
Bahari Indonesia terletak di Jalan Pasar Ikan No. 1 Sunda Kelapa, Jakarta
Barat. Museum ini buka dari jam 09.00-15.00 WIB, setiap Selasa hingga Minggu.
Museum tetap buka di hari libur sekolah.
v
HOTEL DES INDES
Dengan dimulainya pembangunan sebuah
hotel bertingkat banyak Duta Merlin tamatlah sebuah hotel tua yang kenamaan
seperti Raffles Hotel Singapura atau Clarence House di London. Dan jakarta
kehilangan riwayat gedung yang telah menyaksikan perkembangan kotanya dari
akhir abad ke-18 sampai sekarang.
Tidak seluruh 'Hotel
Duta' yang dulunya bernama Hotel Des Indies itu usianya setua itu. Bagian yang
tertua adalah " Dependance " atau Paviliun sebelah Selatan yang biasanya
dipakai untuk resepsi atau pameran. bangunan ini dulunya bukan
paviliun,merupakan rumah kediaman yang lengkap dengan bangunan-bangunan gandok
rumah-rumah badak,kandang kuda dan kebun yang cukup luas.Keadaan sekarang rumah
yang dulunya bernama " Moenwijk " itu tak banyak mengalami perubahan.
Persil
tanah " Moenwijk " adalah sebuah diantara rumah-rumah peristirahatan
yang dibangun orang-orang kaya disepanjang terusan " Molenvliet pada bagian terakhir abad ke-18.
Perkembangan kota kearah selatan ini dipelopori
dengan pembuatan saluran air Molenvliet oleh kapten " Bingem " yang
menghubungkan kota dengan apa yang nantinya menjadi " Weltervreden "
jalan yang menghubungkan Batavia dengan daera pedalaman ini sudah ada dalam
abad ke-17. Dalam abad ke-18 orang-orang kaya terutama pejabat-pejabat VOC
berlomba-lomba membangun rumah mewah sepanjang jalan ini.
Karena keadaan dikota makin tidak
sehat orang-orang mampu mulai membangun wisma-wisma dengan kebun-kebun luas di
daerah luar kota (batas kota disebelah selatan adalah sekitar Pancoran Glodok
sekarang),lebih-lebih ke daerah selatan. Faktor lalu-lintas air dan darat
membuat perkembangan kearah ini lebih menguntungkan. Mula-mula wisma ini hanya
didiami selama hari minggu dan libur
lain,jadi seperti orang kaya sekarang dengan bungalow-bungalownya di Puncak
(Bogor). jaraknya untuk waktu itupun lumayan : dari pusat kota kerumah
istirahat Reiner de Klerk di Molenvliet (sekarang Arsip Nasiona) diperlukan
waktu satu jam berkereta. Moewijk boleh dikatakan
rumah yang paling dekat dengan pinggiran sebelah selatan pada jamannya.
Sekitar gedung Tabungan Pos dan Asrama CPM
Jaga Monyet sekarang terdapat terdapat pos penjagaan atau benteng kecil
Risjwijk. Nama jaga Monyet memberikan kesan bahwa daerah diluar benteng seperti
Harmoni Petojo dll masih hutan lebat berawa-rawa. moenwijk memperoleh namanya
dari pemilik pertamanya " Andriaan Moens " seorang Directeur VOC yang
kaya raya. Sayang tak banyak yang kita ketahui tentang riwayat rumah dan tanah
yang luasnya 22.000 m2 ini,kecuali akte-akte jual beli yang mengisahkan
perpindahannya ketangan-tangan yang berlainan. Dalam tahun 1816 agaknya
riwayatnya sebagai " landhurs
" berakhir ketika rumah megah itu dijadikan sekolah merangkap asrama
puteri.
Tanah terbesar dalam persil 'Duta Merlin'
berasal dari tanah Reinier de Klerk yang luasnya 30.000 m2. Reiner de Klerk
sebelum menjabat sebagai Gubernur jenderal menduduki jabatan-jabatan yang
menguntungkan dalam Kompeni sehingga
menjadi kaya raya. ia seorang yang keranjingan kemewahan,memiliki beberapa
wisma dengan kebunnya,diantaranya Arsip Nasional dijalan Gajah Mada.Tanah
disebelah utara Moenswijk itu dimiliki oleh de Klerk sewaktu masih menjabat
sebagai anggota Raad van Indie dalam tahun 1761. Dalam tahun 1774 ternyata
sebuah rumah batu besar dengan serambi belakang dapur,ruang-ruang untuk para
budak(pada waktu de Klerk meninggal tercatat 200 orang budak belian dalam
warisannya),istal-istal, rumah- rumah kereta dan 20 rumah kusir de Klerk
mempunyai orkes pribadi dirumahnya,terdiri dari pemukul genderang,peniup
seruling,pemain kontrabas,2 peniupklarinet,5 pemain biola dan 2 peniup trompet.
Suatu kombinasi aneh pemain-pemain istrumen-istrumen pukul dan tiup diamainkan
oleh 17 orangbudak pemusik. mungkin Tanjidor yang main dikota Batavia
pada hari-hari Tahun Baru merupakan peninggalan orkes ganjil ini. Kurang jelas
musik-musik atau komposisi-komposisi yang bagaimana yang dimainkan mereka..
Para musisi rumahan ini selalu siap untuk main,menunggu istirahat dari tuan
atau nyanya rumah yang mungkin pada suatu saat ingin berdansa,atau duduk
menambah selera pada waktu makan. Juga masih ada peniup-peniup trompet khusus
untuk menyambut kedatangan tua rumah atau tamu-tamunya. Kebiasaan meniup
trompet kehormatan untuk menyambut kehadiran Gubernur Jenderal ditempat umum
masih dipertahankan sampai abad ke-19,kecuali itu ada lagi pengawal kehormatan
berjumlah 40-60 orang.
De Klerk hanya memiliki rumah ini selama 6
tahun : dalam tahun 1774 dijual seharga 2000 ringgit kepada C.Potmans,seorang
ahli obat-obatan yang hanya mendiaminya selama 4 tahun. Seorang pemilik
baru,seorang anak dari G.D. van Der Parra,sempat meninggalinya selama 20 tahun.
setelah mengalami beberapa kali pergantian majikan lagi,dalam tahun 1824 dibeli
oleh pemerintah dari D.J. Papet untuk dijadikan asrama puteri,seperti yang
terjadi juga dengan Moenwijk delapan tahun kemudian.
Kemudian dua orang pengusaha Perancis
bernama A.Chaulan dan J.J. Dodero membelinya dalam tahun 1828. Kedua orang ini
agaknya memang berusaha dibidang perhotelan,sebab mereka mempunyai sebuah
losmen di Bidara Cina. Nama Chaulan yang sudah tahu bahwa ini nama lama jalan
kemakmuran.
Mula-mula hotel ini dikenal dengan
nama Hotel Chaulan saja,kemudian menjadi Hotel DE Provence (1835) untuk
menghormati daerah kelahiran pemiliknya. Anak Chaulan " Etienne "
yang sudah lama tinggal di Batavia dalam tahun 1841 mengadakan perseroan dengan
seorang bernama DEELMAN,yang namanya kini masih kita kenali dalam
DELMAN,kendaraan yang direkanya dalam bengkel keretanya. pimpinan baru dalam
tahun 1854. C.Deninghoff membatisnya kembali menjadi Rotterdamsch Hotel.
Nama yang membawanya kepuncak kemegahaany.
Hotel des Indes,diresmikan dengan akte pada tgl 1 Mei 1856. Menurut De
Haan,penulis buku OUD BATAVIA yang terkenal,nama baru ini adalah hasil
kasak-kusuk penulis Multatuli dengan pemilik hotel. Konon multatuli yang waktu
itu tinggal sementara di hotel itu tak melewatkan kesempatan untuk membujuk
pemiliknya agar mengganti nama hotelnya menjadi " des Indes ".
Jacob Lugt pemilik baru yang membeli hotel
des Indes dalam tahun 1888,adalah seorang bekas militer dan seorang pengusaha
yang sukses. Dialah yang mulai mengusahakan hotel itu secara besar-besaran.
Dalam tahun-tahun 1891-94 tanah-tanah disekitarnya dibeli dan disatukan menjadi
satu kompleks hotel yang cukup besar. Meliputi luas 80.oo m2.
Tanah itu termasuk bekas Moenswijk,yang
dijadikan receptie-paviljoen. Tanah Reiner de Klerk. Persil yang disebut Hortus
Medicus (kebun tanaman obat-obatan) douarierre (janda) van der Parra dan persil
Goldmann yang berbatasan dengan Gang Chaulan.
Entah mengapa jacob Lugt yang kaya-raya itu
tidak sukses dalam usaha perhotelan. Entah karena ia rudin dalam
spekulasi-spekulasi lain. ataukah ia terlalu royal terhadap tamu-tamunya,dalam
tahun 1897 ia bangkrut dan hotel tersebut dijadikan Perseroan Terbatas .
Pemegang saham segera mengadakan penghematan-penghematan sebelumnya,dalam
tahun-tahun 1890 taripnya hanya f 5,-termasuk minumnya gratis. Betapa mewahnya
makanan hotel dapat kita baca dalam laporan penulis M.Buys.
Siang-siang pukul setengah satu atau jam
satu dihidangkan apa yang disebut risttafel,dengan makanan pokok nasi dengan
lauk-pauk beraneka macam seperti ayam yang dimasak dengan pelbagai cara,Saus
kare,daging,sayur mayur,kaldu,banyak jenis sambal-sambalan,ikan merah
makasar,chutney dan seterusnya. Sesudah itu masih dihidangkan makanan Eropah
seperti sayur-sayuran,daging dan selada. Makan siang itu diakhiri dengan
desert.
Setelah penghematan makan pagi hanya dengan
2 butir telur untuk setiap tamu,keju,daging dingin dan daging kaleng,selalai
dsb. Makan malam terdiri dari sup,kroket,tiga jenis hidangan dan dessert. pada
makan siang tak diadakan pengurangan sebab khawatir tamu-tamu merasa dirugikan.
Perluasan dengan menambah kamar-kamar baru
diadakan dalam tahun 1898,sembilan tahun kemudian ditambah dengan
paviliun-paviliun baru. Bagian depan yang besar dengan lobbynya yang luas itu dibangun dalam tahun 1931.
Sedangkan rumah asli yang kita lihat sebagai bangunan induk dalam foto-foto
tempo doeloe pada pertukaran abad ini masih berdiri dibelakang,dikenal sebagai
" Rumah Merah ".
Sejak masa itu sampai tahun-tahun
50'an,hotel des Indes merupak hotel kelas satu yang tiada keduanya dalam
prestise dan kedudukannya makin merosot di Jakarta. Sesudah itu keadaannya
makin merosot ,sebab harus menanggung pegawai-pegawai negeri yang tak mendapat
perumahan di Ibukota. Kemerosotan ini makin menjadi-jadi setelah pengambilan
alih:hotel kelas satu ini seakan-akan seakan menjadi asrama yang besar,dan
setelah dibukanya Hotel Indonesia namanya hampir tak disebut-sebut lagi.
Tak lama lagi Hotel des Indes yang sudah
menjalani riwayat sepanjang lebih dari 100 tahun tahun itu harus diratakan
dengan bumi. Dengan hilang pula satu babak sejarah. Ternyata pragmatisme lebih
menang daripada hisrorisitas dan kenangan pada jaman lampau. atau memang orang
kurang suka pada kenangan-kenangan yang mengingatkan kolonialisme itu.
v
MASJID CUT MEUTIA
Bagi
masyarakat yang sering melintas dan mengetahui daerah Menteng, pastilah tidak
kesulitan mencari Masjid Cut Meutia. Namun bagi mereka yang jarang atau tidak
pernah memperhatikan bangunan di sekitar Menteng, ada kemungkinan akan
kesulitan menemukan Masjid tersebut.
Pasalnya
bentuk bangunan Masjid Cut Meutia tidak seperti masjid pada umumnya. Bangunan
ini tidak mempunyai kubah, menara atau pun plang nama besar yang biasa menjadi
ciri khas masjid pun tak terdapat disana. Beberapa yang dapat dijadikan petunjuk
bahwa bangunan tersebut masjid adalah kumandang adzan pada waktu shalat.
Sejarah untuk
bangunan tersebut menjadi masjid pun cukup panjang. Awalnya bangunan yang
berlokasi di Jl. Taman Cut Meutia No.1, Jakarta Pusat ini adalah kantor NV De
Bouwpleg atau kantornya para arsitek Belanda pada waktu itu.
Selain
para arsitek, dilantai dua gedung tersebut berkantorlah Jendral van Heuis. H.
Herry Heriawan, Kepala Pengurus Harian Masjid Cut Meutia, menerangkan gedung NV
De Bouwpleg adalah gedung bertingkat pertama yang dibangun di daerah Menteng.
Setelah Belanda meninggalkan Indonesia, gedung tersebut dijadikan Markas Besar
Angkatan Laut, Jepang pada Perang Dunia ke II.
Setelah
itu pada tahun 1959 sampai 1960 gedung tersebut dijadikan kantor Wali kota Jakarta
Pusat, selanjutnya secara berturut dijadikan kantor PAM, kantor dinas Urusan
Perumahan Jakarta dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada
jaman kepemimpinan Abdul Haris Nasution.
Herry
menuturkan, setelah MPRS pindah ke daerah Senayan (sekarang Gedung MPR-DPR)
gedung tersebut diwakafkan kepada anggkatan 66 yonif Yo Sudarso untuk digunakan
sebagai tempat beribadah. Meski demikian, perjalanan gedung NV De Bouwpleg
menjadi Masjid Cut Meutia masih terus berlangsung.
Selama
kurang lebih 17 tahun gedung hanya dapat dijadikan tempat ibadah tanpa status
Masjid. Barulah tahun 1987 dengan SK gubernur no. 5184/1987 tanggal 18 Agustus,
resmi menjadi masjid tingkat propinsi. Nama Cut Meutia diambil dari jalan yang
berada di dekat gedung tersebut.
Masjid
Cut Meutia dibawah dinas museum dan sejarah karena sejak tahun 1961 resmi
menjadi gedung yang dilindungi menjadi gedung sebagai cagar budaya.
Peruntukannya dapat berubah, namun bentuknya bangunan tidak boleh diubah hanya
boleh direnovasi.
Setelah
puluhan tahun berdiri, pada tahun 1984 , dilakukan renovasi besar-besaran.
Untuk memberikan kesan luas, sebagian anak tangga dipotong dan dipindahkan
keluar. Selain itu arah kiblat dimiring 15 deraja ke arah kanan. "Hal itu
disebabkan arah kiblat yang sebenarnya serong," kata Herry. Perombakan
juga terjadi pada tempat imam dan mimbar. Keduanya dibuat 15 meter menjorok ke
depan "Karena kondisi memungkina untuk diletakan di tengah, karena kiblat
sudah diserongkan, jadi Tempat imam terpisah dari tempat mimbar. Kami sudah
menanyakan kepada para pemuka agama, tidak ada dalil yang menyatakan mihrab dan
mimbar yang harus berdampingan," kata Herry. Genteng yang semula sirap
diganti menjadi genting beglazur. Lantai pun dipasangi marmer.
Semula
Masjid Cut Meutia tidak mempunyai halaman ataupun tempat parkir. Namun atas
usaha Edi Nala Praya, Wakil Gubernur DKI Jakarta, kala itu, taman yang berada
di depan Masjid Cut Meutia yang semula milik dinas pertaman, dibagi menjadi
sehingga Masjid Cut Meutia pun mempunyai halaman.
v
MUSEUM NASIONAL INDONESIA (MUSEUM GAJAH)
Museum
Nasional berdiri pada tangal 24 April 1778, bertepatan dengan pembentukan
sebuah organisasi yang bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen. Ketua organisasi tersebut, J.C.M. Radermacher, menyumbangkan
beberapa koleksi buku serta benda-benda peninggalan budaya, dan sebuah gedung
yang terletak di sebuah tempat yang kini bernama Jalan Kalibesar. Baik koleksi
buku, benda peninggalan budaya, maupun gedung tersebut merupakan cikal bakal
berdirinya museum.
Pada
masa pemerintahan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles, yaitu sekitar tahun
1811-1816, yang juga menjabat sebagai direktur perkumpulan Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, memerintahkan untuk membangun sebuah
gedung baru, di sebuah tempat yang kini dikenal dengan Jalan Majapahit No. 3,
Jakarta, yang kemudian diberinama Societeit de Harmonie. Gedung tersebut
difungsikan sebagai museum dan ruang pertemuan Literary Society. Lokasi gedung
tersebut saat ini menjadi kompleks Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Karena
banyaknya koleksi benda-benda peninggalan sejarah, sehingga membuat ruang dalam
gedung tersebut terlalu penuh, sehingga tidak lagi mampu menampung benda-benda
koleksi, akhirnya pada tahun 1862 pemerintah Hindia Belanda mendirikan gedung
baru yang lebih besar sebagai museum. Dan gedung tersebut merupakan gedung yang
saat ini masih digunakan sebagai Museum Nasional. Pada tahun 1868, gedung
museum baru ini secara resmi dibuka untuk umum. Pembangunan gedung baru merupakan
bentuk respon dari pemerintah Hindia Belanda terhadap Bataviaasch Genootschap
van Kunsten en Wetenschappen yang ingin mengembangkan riset-riset ilmiah
terhadap sejarah di wilayah Hindia Belanda dan sekitarnya.
Pada
tahun 1871, Raja Chulalongkorn dari Thailand menghadiahkan patung gajah yang
terbuat dari perunggu, dimana patung tersebut saat ini dapat dilihat di halaman
depan museum. Oleh karena itulah masyarakat menyebutnya dengan nama Museum
Gajah.
Setelah
Indonesia merdeka, museum tersebut dikelola oleh Lembaga Kebudayaan Indonesia
(LKI). Pada tanggal 17 September 1962 LKI menyerahkan pengelolaannya kepada
pemerintah Republik Indonesia, dan lembaga yang diberikan wewenang untuk
mengelola adalah Direktorat Jenderal Kebudayaan, dibawah naungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sejak tanggal 28 Mei 1979 nama
resmi yang diberikan untuk museum tersebut adalah Museum Nasional Republik
Indonesia. Pada tahun 2005, Direktorat Jenderal Kebudayaan dipindahkan dibawah
naungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
v
MONUMEN PROKLAMATOR
Monumen untuk
mengenang peran Soekarno-Hatta sebagai tokoh yang
memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Peristiwa bersejarah
itu terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB bertempat di Gedung
Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Monumen Soekarno-Hatta dibuat atas
prakarsa Presiden Soeharto. Pembuatannya dilaksanakan pada bulan
November 1979-1980 oleh beberapa pematung diantaranya: Jr.
Budiono Soeratno, I Sardono Sugiyo, Y. Sumartono, Drs. Nyoman, dan G.
Sidarta Sugiyo. Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1980 diresmikan
oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto.
Monumen
Soekarno-Hatta terletak di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.
Monumen ini mengandung nilai-nilai sejarah yang mengantarkan bangsa
Indonesia menuju kemerdekaan. Beberapa pertimbangan
dibangunnya patung kedua tokoh tersebut antara lain: a) Sebagai
ueapan terima kasih dan rasa hormat kepada tokoh proklamator
bangsa Indonesia; b) Gagasan ini lahir saat Presiden Soeharto
meresmikan Gedung Joang 45 tahun 1974 dan peresmian makam Soekarno di
Blitar, tahun 1979; e) Sebagai peringatan bahwa di tempat tersebut
proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan tanggal 17 Agustus
1945.
Secara
fisik monumen Soekarno-Hatta terdiri dan Patung Soekarno yang dibuat dan
bahan perunggu dengan tinggi 4,60 m; Patung Bung Hatta dibuat dari
bahan perunggu dengan ketinggian 4,30 m; Naskah Proklamasi terbuat
dan bahan perunggu; Elemen Latar Belakang berupa relung-relung segitiga
yang berjumlah 17 buah dan terbuat dan bahan marmer Tulungagung.
v
MUSEUM SATRIA MANDALA
Museum
pusat ABRI. Merupakan gedung yang besar dan megah. Gedung ini dahulu bernama Wisma Yaso, terletak di Jl.
Gatot Subroto, Jakarta Selatan dan dibangun pada tahun 1960. Semula gedung ini
merupakan tempat kediaman Nyonya Ratna Sari Dewi Sukarno, salah satu isteri
Presiden Sukarno. Gagasan untuk mendirikan museum ABRI dicetuskan oleh Kepala
Pusat Sejarah ABRI saat itu, Drs. Nugroho Notosusanto. Pembangunannya dimulai
sejak 15 November 1971, selesai tahun 1979, dan diresmikan oleh Presiden
Soeharto pada tanggal 5 Oktober 1972. Menampilkan secara visual tahapan-tahapan
perjuangan rakyat Indonesia.
Tujuan
didirikannya museum ini adalah mengabadikan peristiwa-peristiwa bersejarah dari
perjuangan bangsa Indonesia yang berintikan TNI/ABRI sejak Proklamasi 1945,
serta menyimpan dan memamerkan benda-benda peninggalan yang memiliki aspek
Hankam/ABRI. Satria Mandala berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya lingkungan keramat para ksatria.
Museum Satria Mandala memiliki berbagai koleksi, seperti naskah, miniatur,
diorama, foto dokumentasi, senjata dan peralatan ABRI. Di museum ini juga
dipamerkan berbagai replika kapal perang serta alat-alat yang dipergunakan pada
operasi TNI-AL, misalnya KRI Pattimura yang berjasa di dalam operasi Jaya
Wijaya di perairan Irian Jaya, Operasi Cakra I & II, dan kapal KRI Macam
Tutul. Kelompok pesawat terbang yang dipamerkan adalah dalam bentuk asli,
antara lain AT-16 Harvard dari AS, B-25 J. Mitchel yang pernah dipakai dalam
penumpasan pemberontakan Andi Aziz di Ujung Pandang, RMS, DI/TII, PRRI/Permesta
serta Trikora dan Dwikora; P-51 Mustang yang terkenal dengan sebutan Cocor
Merah karena selongsong baling-balingnya berwarna merah; RI 001 Seulawah yang
setelah selesai tugas militer dihibahkan kepada Garuda Indonesia Airways;
Helikopter MI-4. Museum Satria Mandala memiliki beberapa ruangan yang
dipergunakan untuk menyimpan benda-benda peninggalan, yaitu Ruang Panji, Ruang
Jenderal Soedirman, Ruang Jenderal Oerip Soemoharjo.
v
HOTEL INDONESIA
Berbagai hotel didirikan di kota
metropolitan ini. tetapi dari berbagai hotel
di Jakarta, ada satu hotel yang bersejarah bagi Indonesia, Hotel
Indonesia. Hotel Indonesia adalah hotel berbintang yang dibangun pertama
kalinya di Indonesia. Hotel ini resmi dibuka pada tahun 1962. Saat itu, hotel
tersebut dibangun untuk menyambut Asia Games keempat yang diadakan di Indonesia
pada saat itu.
Hotel Indonesia adalah hotel di
Jakarta yang dibangun di atas tanah yang berukuran 25.082 meter persegi.
Untuk desain arsitektur hotel tersebut dirancang oleh pasangan arsitek asal
Amerika Serikat, Abel Sorensel dan Wendy. Setelah hotel ini dibangun, hotel ini
diberi slogan yang cukup unik bila didengar ditelinga, A Dramatic Symbol of
Free Notions Working Together.
Anda juga tak perlu heran jika hotel
ini masuk dalam salah satu cagar budaya yang sudah diresmikan olah pemerintah
kota Jakarta karena memang hotel ini banyak mengambil peran dalam sejarah
bangsa Indonesia. Itu terlihat dalam desain-deain hotel yang mempunyai unsur
kebudayaan di dalamnya.
Nilai sejarah yang ada dalam Hotel
Indonesia terlihat dalam setiap sudut ruangan dalam hotel tersebut. Di bagian
luar hotel terdapat relief yang bernuansa jadul yang diberi judul “Gadis-Gadis
Bhinneka Tunggal Ika”. Ada pula ruangan yang dulunya sering digunakan presiden
Soekarno untuk mengadakan acara-acara negara.
Ruangan tersebut dinamakan Baliroom
karena nuansa yang tercipta berhubungan dengan sejarah yang pernah ada. Selain
itu, unsur-unsur seni juga membuat hotel
di Jakarta
yang terkenal ini menjadi lebih indah. Unsur seni tampak pada patung “Gadis
Kerikan” yang berada di dekat kolam hotel tersebut. Unsur seni dan unsur budaya
tersebut menjadikan hotel Indonesia layak mendapat disebut dengan hotel yang
bersejarah di Jakarta karena panorama yang disuguhkannya benar-benar
menggambarkan ciri khas dan histori bangsa Indonesia.
Kini, usia hotel ini sudah hampir
setengah abad dan sudah mengalami beberapa kali renovasi. Tetapi, dalam hotel
tersebut masih sangat kental dengan segala bentuk kenangan dari sejarah. Hotel
ini sudah sudah beberapa kali berganti pengelola. Pengelola pertama hotel ini
adalah PT. Natour, kemudian diambil alih oleh Kempinski Group sampai sekarang.
Sehingga, nama hotel tersebut
disesuaikan dengan nama pengelolanya, yaitu Hotel Kempinski. Jika Anda bingung
untuk memilih tempat singgah ketika Anda berkunjung di Jakarta, tak ada
salahnya jika Anda memilih hotel Indonesia dari beberapa hotel di Jakarta.
Selain kenyamanan yang akan Anda dapat, Anda juga bisa napak tilas sejarah bangsa
Indonesia di hotel tersebut.
v MUSEUM TAMAN PRASASTI
Museum
Taman Prasasti Jakarta terletak di Jl. Tanah Abang 1, Jakarta,
yang bisa dicapai melewati Jalan Abdul Muis. Museum Taman Prasasti barangkali
adalah satu-satunya museum luar ruangan di Jakarta, dimana hampir semua koleksi
prasastinya berada di udara terbuka tanpa pelindung. Mungkin karena sebagian
besar prasasti itu terbuat dari batu alam, marmer atau perunggu yang tahan
terhadap perubahan cuaca.
Museum
Taman Prasasti Jakarta mulanya kompleks kuburan Belanda, Kerkhof Laan, yang
kemudian dikenal sebagai kuburan Kebon Jahe Kober. Kuburan seluas 5,5 ha di
tanah hibah Van Riemsdijk itu dibangun tahun 1795 untuk menggantikan kuburan di
samping gereja Nieuw Hollandsche Kerk, sekarang Museum
Wayang, dan dari Gereja
Sion Jakarta, akibat larangan Daendels untuk tidak mengubur
mayat di sekitar gereja dan tanah pribadi.
Kuburan
Kebon Jahe Kober itu ditutup pada 1975 karena tidak ada lagi ruang tersisa.
Semua mayat di Pemakaman Kebon Jahe Kober kemudian dipindahkan ke pemakaman
lain, seperti Menteng Pulo dan Tanah Kusir, dan dijadikan Museum Taman Prasasti
yang secara resmi dibuka oleh waktu itu Gubernur DKI Ali Sadikin pada 7 Juli
1977 dengan koleksi prasasti, nisan, tugu, dan makam sebanyak 1.372. Saat ini
luas museum ini tinggal 1,3 ha.
Museum
ini menjadi semacam tempat pamer karya seni kubur masa lampau yang keindahannya
melebihi seni kubur masyarakat umum sekarang ini, dan menjadi menarik dan
informatif jika ada penjelasan di setiap prasasti. Penjelasan semacam itu
membuat pengunjung memahami latar sejarah dan mendapat manfaat dari kunjungan
mereka.
Pintu
masuk Museum Taman Prasasti yang saat itu terlihat agak kotor dan temboknya
sudah memerlukan cat ulang. Ruang parkir di halaman museum agak terbatas, namun
pengunjung bisa parkir di pinggiran jalan di luar kompleks Museum Taman
Prasasti. Sesaat kemudian saya sudah membayar tiket dan masuk ke area museum
luar yang luas ini.
Di
area depan Museum Taman Prasasti terdapat tugu tengara yang dibuat bagi 30
orang tentara kekaisaran Jepang Kompi 19, Batalyon 16, Divisi 2, dari kota
Shibata, Propinsi Nigata, Jepang. Mereka dibunuh militer sekutu di Sungai
Ciantung, Desa Leuwiliang, Bogor, pada 3-4 Maret, tahun 17 Showa (1942) ketika
bala tentara Jepang menyerbu Indonesia. Dua kali setahun masyarakat Jepang yang
tinggal di Jakarta menyelenggarakan acara ritual di Museum Taman Prasasti
Jakarta ini.
Replika
prasasti Pieter Erberveld terdapat di bagian depan Museum Taman Prasasti, yang
aslinya dibuat pada April 1722. Ia dihukum mati dengan guillotine setelah gagal
memimpin pemberontakan pada 1 Januari 1722. Ada pula tengara berbunyi: “Di
taman ini terlukis peristiwa sepanjang masa dari goresan prasasti mereka yang
pergi. Di sini pula tertanam kehijauan yang kita dambakan”.
Di
area sebelah kiri Museum Taman Prasasti Jakarta terdapat replika kereta jenasah
yang dipakai membawa keranda mayat ke kuburan. Status sosial seseorang bisa
dilihat dari jumlah kuda yang dipakai, dua atau empat, untuk menarik kereta
mayatnya. Selain kereta jenasah, di Museum Taman Prasasti juga disimpan peti
jenazah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta.
Museum
Taman Prasasti juga menyimpan batu nisan Soe Hok Gie (1942-1969) dan Miss
Riboet yang menjadi primadona Miss Riboet Orion, perkumpulan Opera Komedi
Stambul yang terkenal di Batavia pada tahun 1920-an di bawah pimpinan Tio Tik
Djien, suami Miss Riboet. Perkumpulan Sandiwara Miss Riboet Orion berakhir pada
1934, saat penulis naskahnya Njoo Cheong Seng dan Fifi Young pindah ke Opera
Dardanella.
Pusara
Miss Riboet bertulis “Atas Dasar Mutlak Tjinta Sutji-Murni Selama Ampir 50
Taoen Telah Hidup Rukun- Beruntung – Beredjeki Dlm Persahabatan Suami Estri:
‘S/U Riboet (Al Miss-Riboet), Lahir di Atjeh: 24 Dec. 1900, Meninggal Di Djak.
19 Apr. (Paskah) 1965 dan T.D.Tio Jr. Tio Tik Djien Lahir Di Ngandjuk 2 Dec.
1895 Menjusul. God’s Groote Liefde Kasih Tuhan Jg Mahaesa Dasar-Mutlak Bagai
Penghidupan dan Segala Jg Hidup & Ingin Hidup.” Tio Tik Djien meninggal
pada 1972 di Jakarta.
Patung
wanita terbuat dari batu pualam dalam posisi berbaring miring dengan kepala
bertelekan bantalan dan tangan menangkup wajah. Pada prasasti kubur di kiri
belakangnya tertulis “Rustplaats van onzen geliefden zoon Hendrik Daniel
Beisser Machinist b.d. Gouv. Marine Geb. te Padang 5 Januari 1882. Overl. in de
Indragiri rivier 18 Juni 1904”.
Di
Museum Taman Prasasti bisa dilihat prasasti dari tokoh berkebangsaan Belanda
serta Inggris seperti A.V. Michiels (yang memimpin tentara Belanda dalam Perang
Puputan Jagaraga Kerajaan Buleleng), Dr. H.F. Roll (Pendiri STOVIA, Sekolah
Kedokteran zaman Belanda, 1867-1935), dan J.H.R. Kohler (perang Aceh).
Ada
pula prasasti kubur Olivia Marianne Raffles (istri Thomas Stamford Raffles,
meninggal 1814), dan Kapitan Jas yang makamnya dikeramatkan sebagian orang
karena konon bisa memberi kesuburan, keselamatan, kemakmuran dan kebahagiaan.
Di ujung belakang Museum Taman Prasasti terdapat deretan bekas kuburan dan
prasasti yang menempel pada tembok dinding.
Jika
anda ke Museum Taman Prasasti Jakarta, cobalah temukan sebuah prasasti dengan
tulisan “SOO GY. NU SYT.WAS.IK VOOR DEESEN DAT.JK, NV BEN SVLT GY OOK WEESEN
yang berarti “Seperti Anda sekarang, demikianlah Aku sebelumnya. Seperti Aku
sekarang, demikianlah juga Anda kelak”. Semoga Anda bisa menemukannya.