Wednesday, July 27, 2016

Beberapa Bangunan dan Tempat Ibadah Bersejarah di Jakarta


Faiza nazari
viii-3
no. absen : 12

BANGUNAN BERSEJARAH & tempat ibadah BERSEJARAH PENINGGALAN HINDIA BELANDA
DI D.K.I JAKARTA

v  MUSEUM FATAHILLAH
                    Staadhuis itulah nama semula gedung Museum Sejarah Jakarta yang berada dijalan Taman Fatahillah Nomor 1 Jakarta Barat. Luas areal seluruhnya 13.588 m2, dan bangunan yang berada diatasnya tersebut, dilindungi oleh Pemerintah Pusat maupu Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Keputusan Mendikbud No.28/M/1988 dan keputusan Gubernur DKI Jakarta No.475 tahun 1993).
            Menurut catatan, bahwa pembangunan gedung Staadhuis itu sudah tiga kali pada tempat yang sama, tetapi pada kurun waktu yang berbeda. Pertama pada tahun 1620, dibangun oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoen Coen, yang digunakan sebagai Staadhuis sampai tahun 1627. Karena kegiatan VOC semakin meningkat, maka dibangun gedung baru ditempat yang sama. Gedung baru itu hanya bertahan sampai tahun 1707. Selanjutnya Gubernur Jenderal Joan Van Hoorn, pada tanggal 25 Januari 1707, mulai membangun gedung baru (gedung yang sekarang), diatas puing-puing gedung Staadhuis yang lama. Peletakan batu pertama oleh putri Gubernur Jenderal Joan Van Hoorn, yang bernama Petrolina Willemina Van Hoorn. Adapun perencanaannya oleh WJ. Van Der Veld, dan pembuatannya dipimpin oleh J. Kemmers. Staadhuis yang cukup besar dan megah itu pembangunannya baru selesai pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Abraham Van Riebeeck, yang kemudian diresmikan pada tanggal 10 Juli 1710.
            Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram Yogyakarta, pernah menyerang Batavia dua kali, yakni pada tahun 1628 dan tahun 1629. Pada penyerangan yang kedua itu pasukan Sultan Agung mampu membakar gedung Staadhuis tersebut. Gedung Staadhuis itu ternyata tidak hanya berfungsi sebagai kantor Balai Kota saja, akan tetapi juga sebagai kantor Dewan Urusan Perkawinan, Kantor Balai Harta (Jawatan Pegadaian) dan kantor Pengadilan (Raad Van Justitie). Oleh karena itu gedung Staadhuis tersebut oleh masayarakat dikenal juga sebagai Gedung Bicara
            Karena gedung juga berfungsi sebagai kantor pengadilan maka dilengkapi pula dengan sel atau ruang penjara sementara menunggu fonis pengadilan. Ruang penjara itu berada di lantai dasar dibagian belakang. Hal yang menarik adalah, bahwa digedung Staadhuis itu pernah ditawan beberapa pahlawan nasional, antara lain Pangeran Diponegoro, sebelum dibuang ke Makasar (Ujung Pandang), dan Cut Nyak Dien pahlawan wanita yang berasal dari Daerah Istimewa Aceh. Selain itu pula orang Cina dan bahkan orang Belanda yang melawan pemerintah. Kasusnya bermacam-macam, selain kasus politik ada juga kasus utang-piutang dan kasus kriminal.
            Pada tahun 1925 sampai Jepang masuk ke Indonesia, gedung Staadhuis tersebut menjadi Balaikota Propinsi Jawa Barat oleh pemerintah Hindia Belanda. Setelah perang kemerdekaan sampai dengan bulan desember 1945 menjadi Balai kota Propinsi Jawa Barat dan selanjutnya dijadikan Kantor Kodim 0503 Jakarta Barat, sedangkan dibagian belakang untuk tempat tinggal keluarga. Ketika dijadikan kantor KODIM 0503, Taman Fatahillah didepannya yang luas itu pernah berfungsi sebagai terminal bis kota. Akhirnya pada tahun 1972 Pemerintah DKI Jakarta memugar gedung tersebut dan diresmikan sebagai menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30 Maret 1974.
v  GEREJA KATEDRAL
       Gereja Katedral Jakarta. Nama resminya adalah Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga, De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming) adalah sebuah gereja di Jakarta. Gedung gereja ini diresmikan pada 1901 dan dibangun dengan arsitektur neo-gotik dari Eropa, yakni arsitektur yang sangat lazim digunakan untuk membangun gedung gereja beberapa abad yang lalu.
            Gereja yang sekarang ini dirancang dan dimulai oleh Pastor Antonius Dijkmans dan peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Provicaris Carolus Wenneker. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Cuypers-Hulswit ketika Dijkmans tidak bisa melanjutkannya, dan kemudian diresmikan dan diberkati pada 21 April 1901 oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, SJ, Vikaris Apostolik Jakarta.
            Katedral yang kita kenal sekarang sesungguhnya bukanlah gedung gereja yang asli di tempat itu, karena Katedral yang asli diresmikan pada Februari 1810, namun pada 27 Juli 1826 gedung Gereja itu terbakar bersama 180 rumah penduduk di sekitarnya. Lalu pada tanggal 31 Mei 1890 dalam cuaca yang cerah, Gereja itu pun sempat roboh.

v  MUSEUM BAHARI
          Museum Bahari Indonesia. Di museum ini kita bisa melihat berbagai peninggalan budaya bahari dari masyarakat Indonesia sejak masa lampau. Selain itu, terdapat koleksi biota laut serta data keragaman hayati yang dimiliki perairan negeri kita.
            Awalnya, gedung museum ini adalah gudang penyimpanan komoditas perdagangan utama VOC. Komoditas tersebut antara lain kopi, rempah-rempah, tekstil dan bahan tambang seperti timah serta tembaga. Ketika era beralih ke masa pendudukan Jepang, gedung-gedung ini beralih fungsi sebagai gudang logistik tentara Jepang.
            Pasca kemerdekaan, gedung ini pun pernah digunakan PLN dan PTT sebagai gudang. Barulah pada tahun 1976, bangunan ini mengalami pemugaran dan direvitalisasi sebagai sebuah cagar budaya. Gedung ini pun kemudian diresmikan menjadi Museum Bahari Indonesia pada tanggal 7 Juli 1977.
            Di museum ini dipamerkan koleksi berbagai jenis perahu tradisional dan modern, baik dalam bentuk asli maupun model atau miniatur. Selain itu, terdapat aneka cerita rakyat (folklore) dan lagu masyarakat nelayan Nusantara. Ada pula berbagai model alat penunjang pelayaran, seperti jangkar, teropong, alat-alat navigasi seperti kompas dan miniatur mercusuar. Teknologi pembuatan kapal tradisional juga ikut dipamerkan.
            Museum ini juga menyimpan matra TNI AL, koleksi kartografi dan maket pulau Onrust. Informasi yang cukup lengkap mengenai tokoh-tokoh serta pahlawan dari kerajaan maritim nasional, antara lain Sriwijaya dan Samudera Pasai dapat kita peroleh di museum ini. Alat persenjataan maritim seperti meriam juga ikut melengkapi koleksi museum ini.
            Museum Bahari Indonesia terletak di Jalan Pasar Ikan No. 1 Sunda Kelapa, Jakarta Barat. Museum ini buka dari jam 09.00-15.00 WIB, setiap Selasa hingga Minggu. Museum tetap buka di hari libur sekolah.

v  HOTEL DES INDES
            Dengan dimulainya pembangunan sebuah hotel bertingkat banyak Duta Merlin tamatlah sebuah hotel tua yang kenamaan seperti Raffles Hotel Singapura atau Clarence House di London. Dan jakarta kehilangan riwayat gedung yang telah menyaksikan perkembangan kotanya dari akhir abad ke-18 sampai sekarang.
            Tidak seluruh 'Hotel Duta' yang dulunya bernama Hotel Des Indies itu usianya setua itu. Bagian yang tertua adalah " Dependance " atau Paviliun sebelah Selatan yang biasanya dipakai untuk resepsi atau pameran. bangunan ini dulunya bukan paviliun,merupakan rumah kediaman yang lengkap dengan bangunan-bangunan gandok rumah-rumah badak,kandang kuda dan kebun yang cukup luas.Keadaan sekarang rumah yang dulunya bernama " Moenwijk " itu tak banyak mengalami perubahan.
Persil tanah " Moenwijk " adalah sebuah diantara rumah-rumah peristirahatan yang dibangun orang-orang kaya disepanjang terusan " Molenvliet  pada bagian terakhir abad ke-18.
            Perkembangan kota kearah selatan ini dipelopori dengan pembuatan saluran air Molenvliet oleh kapten " Bingem " yang menghubungkan kota dengan apa yang nantinya menjadi " Weltervreden " jalan yang menghubungkan Batavia dengan daera pedalaman ini sudah ada dalam abad ke-17. Dalam abad ke-18 orang-orang kaya terutama pejabat-pejabat VOC berlomba-lomba membangun rumah mewah sepanjang jalan ini.
            Karena keadaan dikota makin tidak sehat orang-orang mampu mulai membangun wisma-wisma dengan kebun-kebun luas di daerah luar kota (batas kota disebelah selatan adalah sekitar Pancoran Glodok sekarang),lebih-lebih ke daerah selatan. Faktor lalu-lintas air dan darat membuat perkembangan kearah ini lebih menguntungkan. Mula-mula wisma ini hanya didiami selama hari minggu  dan libur lain,jadi seperti orang kaya sekarang dengan bungalow-bungalownya di Puncak (Bogor). jaraknya untuk waktu itupun lumayan : dari pusat kota kerumah istirahat Reiner de Klerk di Molenvliet (sekarang Arsip Nasiona) diperlukan waktu satu jam berkereta. Moewijk  boleh dikatakan rumah yang paling dekat dengan pinggiran sebelah selatan pada jamannya. 
            Sekitar gedung Tabungan Pos dan Asrama CPM Jaga Monyet sekarang terdapat terdapat pos penjagaan atau benteng kecil Risjwijk. Nama jaga Monyet memberikan kesan bahwa daerah diluar benteng seperti Harmoni Petojo dll masih hutan lebat berawa-rawa. moenwijk memperoleh namanya dari pemilik pertamanya " Andriaan Moens " seorang Directeur VOC yang kaya raya. Sayang tak banyak yang kita ketahui tentang riwayat rumah dan tanah yang luasnya 22.000 m2 ini,kecuali akte-akte jual beli yang mengisahkan perpindahannya ketangan-tangan yang berlainan. Dalam tahun 1816 agaknya riwayatnya  sebagai " landhurs " berakhir ketika rumah megah itu dijadikan sekolah merangkap asrama puteri.
            Tanah terbesar dalam persil 'Duta Merlin' berasal dari tanah Reinier de Klerk yang luasnya 30.000 m2. Reiner de Klerk sebelum menjabat sebagai Gubernur jenderal menduduki jabatan-jabatan yang menguntungkan  dalam Kompeni sehingga menjadi kaya raya. ia seorang yang keranjingan kemewahan,memiliki beberapa wisma dengan kebunnya,diantaranya Arsip Nasional dijalan Gajah Mada.Tanah disebelah utara Moenswijk itu dimiliki oleh de Klerk sewaktu masih menjabat sebagai anggota Raad van Indie dalam tahun 1761. Dalam tahun 1774 ternyata sebuah rumah batu besar dengan serambi belakang dapur,ruang-ruang untuk para budak(pada waktu de Klerk meninggal tercatat 200 orang budak belian dalam warisannya),istal-istal, rumah- rumah kereta dan 20 rumah kusir de Klerk mempunyai orkes pribadi dirumahnya,terdiri dari pemukul genderang,peniup seruling,pemain kontrabas,2 peniupklarinet,5 pemain biola dan 2 peniup trompet. Suatu kombinasi aneh pemain-pemain istrumen-istrumen pukul dan tiup diamainkan oleh 17 orangbudak pemusik. mungkin Tanjidor yang main dikota Batavia pada hari-hari Tahun Baru merupakan peninggalan orkes ganjil ini. Kurang jelas musik-musik atau komposisi-komposisi yang bagaimana yang dimainkan mereka.. Para musisi rumahan ini selalu siap untuk main,menunggu istirahat dari tuan atau nyanya rumah yang mungkin pada suatu saat ingin berdansa,atau duduk menambah selera pada waktu makan. Juga masih ada peniup-peniup trompet khusus untuk menyambut kedatangan tua rumah atau tamu-tamunya. Kebiasaan meniup trompet kehormatan untuk menyambut kehadiran Gubernur Jenderal ditempat umum masih dipertahankan sampai abad ke-19,kecuali itu ada lagi pengawal kehormatan berjumlah 40-60 orang.
            De Klerk hanya memiliki rumah ini selama 6 tahun : dalam tahun 1774 dijual seharga 2000 ringgit kepada C.Potmans,seorang ahli obat-obatan yang hanya mendiaminya selama 4 tahun. Seorang pemilik baru,seorang anak dari G.D. van Der Parra,sempat meninggalinya selama 20 tahun. setelah mengalami beberapa kali pergantian majikan lagi,dalam tahun 1824 dibeli oleh pemerintah dari D.J. Papet untuk dijadikan asrama puteri,seperti yang terjadi juga dengan Moenwijk delapan tahun kemudian.
            Kemudian dua orang pengusaha Perancis bernama A.Chaulan dan J.J. Dodero membelinya dalam tahun 1828. Kedua orang ini agaknya memang berusaha dibidang perhotelan,sebab mereka mempunyai sebuah losmen di Bidara Cina. Nama Chaulan yang sudah tahu bahwa ini nama lama jalan kemakmuran.
            Mula-mula hotel ini dikenal dengan nama Hotel Chaulan saja,kemudian menjadi Hotel DE Provence (1835) untuk menghormati daerah kelahiran pemiliknya. Anak Chaulan " Etienne " yang sudah lama tinggal di Batavia dalam tahun 1841 mengadakan perseroan dengan seorang bernama DEELMAN,yang namanya kini masih kita kenali dalam DELMAN,kendaraan yang direkanya dalam bengkel keretanya. pimpinan baru dalam tahun 1854. C.Deninghoff membatisnya kembali menjadi Rotterdamsch Hotel.
            Nama yang membawanya kepuncak kemegahaany. Hotel des Indes,diresmikan dengan akte pada tgl 1 Mei 1856. Menurut De Haan,penulis buku OUD BATAVIA yang terkenal,nama baru ini adalah hasil kasak-kusuk penulis Multatuli dengan pemilik hotel. Konon multatuli yang waktu itu tinggal sementara di hotel itu tak melewatkan kesempatan untuk membujuk pemiliknya agar mengganti nama hotelnya menjadi " des Indes ".
            Jacob Lugt pemilik baru yang membeli hotel des Indes dalam tahun 1888,adalah seorang bekas militer dan seorang pengusaha yang sukses. Dialah yang mulai mengusahakan hotel itu secara besar-besaran. Dalam tahun-tahun 1891-94 tanah-tanah disekitarnya dibeli dan disatukan menjadi satu kompleks hotel yang cukup besar. Meliputi luas 80.oo m2.
            Tanah itu termasuk bekas Moenswijk,yang dijadikan receptie-paviljoen. Tanah Reiner de Klerk. Persil yang disebut Hortus Medicus (kebun tanaman obat-obatan) douarierre (janda) van der Parra dan persil Goldmann yang berbatasan dengan Gang Chaulan.
             Entah mengapa jacob Lugt yang kaya-raya itu tidak sukses dalam usaha perhotelan. Entah karena ia rudin dalam spekulasi-spekulasi lain. ataukah ia terlalu royal terhadap tamu-tamunya,dalam tahun 1897 ia bangkrut dan hotel tersebut dijadikan Perseroan Terbatas . Pemegang saham segera mengadakan penghematan-penghematan sebelumnya,dalam tahun-tahun 1890 taripnya hanya f 5,-termasuk minumnya gratis. Betapa mewahnya makanan hotel dapat kita baca dalam laporan penulis M.Buys.
            Siang-siang pukul setengah satu atau jam satu dihidangkan apa yang disebut risttafel,dengan makanan pokok nasi dengan lauk-pauk beraneka macam seperti ayam yang dimasak dengan pelbagai cara,Saus kare,daging,sayur mayur,kaldu,banyak jenis sambal-sambalan,ikan merah makasar,chutney dan seterusnya. Sesudah itu masih dihidangkan makanan Eropah seperti sayur-sayuran,daging dan selada. Makan siang itu diakhiri dengan desert. 
            Setelah penghematan makan pagi hanya dengan 2 butir telur untuk setiap tamu,keju,daging dingin dan daging kaleng,selalai dsb. Makan malam terdiri dari sup,kroket,tiga jenis hidangan dan dessert. pada makan siang tak diadakan pengurangan sebab khawatir tamu-tamu merasa dirugikan.
            Perluasan dengan menambah kamar-kamar baru diadakan dalam tahun 1898,sembilan tahun kemudian ditambah dengan paviliun-paviliun baru. Bagian depan yang besar dengan lobbynya  yang luas itu dibangun dalam tahun 1931. Sedangkan rumah asli yang kita lihat sebagai bangunan induk dalam foto-foto tempo doeloe pada pertukaran abad ini masih berdiri dibelakang,dikenal sebagai " Rumah Merah ".
            Sejak masa itu sampai tahun-tahun 50'an,hotel des Indes merupak hotel kelas satu yang tiada keduanya dalam prestise dan kedudukannya makin merosot di Jakarta. Sesudah itu keadaannya makin merosot ,sebab harus menanggung pegawai-pegawai negeri yang tak mendapat perumahan di Ibukota. Kemerosotan ini makin menjadi-jadi setelah pengambilan alih:hotel kelas satu ini seakan-akan seakan menjadi asrama yang besar,dan setelah dibukanya Hotel Indonesia namanya hampir tak disebut-sebut lagi.
            Tak lama lagi Hotel des Indes yang sudah menjalani riwayat sepanjang lebih dari 100 tahun tahun itu harus diratakan dengan bumi. Dengan hilang pula satu babak sejarah. Ternyata pragmatisme lebih menang daripada hisrorisitas dan kenangan pada jaman lampau. atau memang orang kurang suka pada kenangan-kenangan yang mengingatkan kolonialisme itu.

v  MASJID CUT MEUTIA
            Bagi masyarakat yang sering melintas dan mengetahui daerah Menteng, pastilah tidak kesulitan mencari Masjid Cut Meutia. Namun bagi mereka yang jarang atau tidak pernah memperhatikan bangunan di sekitar Menteng, ada kemungkinan akan kesulitan menemukan Masjid tersebut.
            Pasalnya bentuk bangunan Masjid Cut Meutia tidak seperti masjid pada umumnya. Bangunan ini tidak mempunyai kubah, menara atau pun plang nama besar yang biasa menjadi ciri khas masjid pun tak terdapat disana. Beberapa yang dapat dijadikan petunjuk bahwa bangunan tersebut masjid adalah kumandang adzan pada waktu shalat.
            Sejarah untuk bangunan tersebut menjadi masjid pun cukup panjang. Awalnya bangunan yang berlokasi di Jl. Taman Cut Meutia No.1, Jakarta Pusat ini adalah kantor NV De Bouwpleg atau kantornya para arsitek Belanda pada waktu itu.
            Selain para arsitek, dilantai dua gedung tersebut berkantorlah Jendral van Heuis. H. Herry Heriawan, Kepala Pengurus Harian Masjid Cut Meutia, menerangkan gedung NV De Bouwpleg adalah gedung bertingkat pertama yang dibangun di daerah Menteng. Setelah Belanda meninggalkan Indonesia, gedung tersebut dijadikan Markas Besar Angkatan Laut, Jepang pada Perang Dunia ke II.
            Setelah itu pada tahun 1959 sampai 1960 gedung tersebut dijadikan kantor Wali kota Jakarta Pusat, selanjutnya secara berturut dijadikan kantor PAM, kantor dinas Urusan Perumahan Jakarta dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada jaman kepemimpinan Abdul Haris Nasution.
            Herry menuturkan, setelah MPRS pindah ke daerah Senayan (sekarang Gedung MPR-DPR) gedung tersebut diwakafkan kepada anggkatan 66 yonif Yo Sudarso untuk digunakan sebagai tempat beribadah. Meski demikian, perjalanan gedung NV De Bouwpleg menjadi Masjid Cut Meutia masih terus berlangsung.
            Selama kurang lebih 17 tahun gedung hanya dapat dijadikan tempat ibadah tanpa status Masjid. Barulah tahun 1987 dengan SK gubernur no. 5184/1987 tanggal 18 Agustus, resmi menjadi masjid tingkat propinsi. Nama Cut Meutia diambil dari jalan yang berada di dekat gedung tersebut.
            Masjid Cut Meutia dibawah dinas museum dan sejarah karena sejak tahun 1961 resmi menjadi gedung yang dilindungi menjadi gedung sebagai cagar budaya. Peruntukannya dapat berubah, namun bentuknya bangunan tidak boleh diubah hanya boleh direnovasi.
            Setelah puluhan tahun berdiri, pada tahun 1984 , dilakukan renovasi besar-besaran. Untuk memberikan kesan luas, sebagian anak tangga dipotong dan dipindahkan keluar. Selain itu arah kiblat dimiring 15 deraja ke arah kanan. "Hal itu disebabkan arah kiblat yang sebenarnya serong," kata Herry. Perombakan juga terjadi pada tempat imam dan mimbar. Keduanya dibuat 15 meter menjorok ke depan "Karena kondisi memungkina untuk diletakan di tengah, karena kiblat sudah diserongkan, jadi Tempat imam terpisah dari tempat mimbar. Kami sudah menanyakan kepada para pemuka agama, tidak ada dalil yang menyatakan mihrab dan mimbar yang harus berdampingan," kata Herry. Genteng yang semula sirap diganti menjadi genting beglazur. Lantai pun dipasangi marmer.
            Semula Masjid Cut Meutia tidak mempunyai halaman ataupun tempat parkir. Namun atas usaha Edi Nala Praya, Wakil Gubernur DKI Jakarta, kala itu, taman yang berada di depan Masjid Cut Meutia yang semula milik dinas pertaman, dibagi menjadi sehingga Masjid Cut Meutia pun mempunyai halaman.

v  MUSEUM NASIONAL INDONESIA (MUSEUM GAJAH)
            Museum Nasional berdiri pada tangal 24 April 1778, bertepatan dengan pembentukan sebuah organisasi yang bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Ketua organisasi tersebut, J.C.M. Radermacher, menyumbangkan beberapa koleksi buku serta benda-benda peninggalan budaya, dan sebuah gedung yang terletak di sebuah tempat yang kini bernama Jalan Kalibesar. Baik koleksi buku, benda peninggalan budaya, maupun gedung tersebut merupakan cikal bakal berdirinya museum.
            Pada masa pemerintahan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles, yaitu sekitar tahun 1811-1816, yang juga menjabat sebagai direktur perkumpulan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, memerintahkan untuk membangun sebuah gedung baru, di sebuah tempat yang kini dikenal dengan Jalan Majapahit No. 3, Jakarta, yang kemudian diberinama Societeit de Harmonie. Gedung tersebut difungsikan sebagai museum dan ruang pertemuan Literary Society. Lokasi gedung tersebut saat ini menjadi kompleks Sekretariat Negara Republik Indonesia.
            Karena banyaknya koleksi benda-benda peninggalan sejarah, sehingga membuat ruang dalam gedung tersebut terlalu penuh, sehingga tidak lagi mampu menampung benda-benda koleksi, akhirnya pada tahun 1862 pemerintah Hindia Belanda mendirikan gedung baru yang lebih besar sebagai museum. Dan gedung tersebut merupakan gedung yang saat ini masih digunakan sebagai Museum Nasional. Pada tahun 1868, gedung museum baru ini secara resmi dibuka untuk umum. Pembangunan gedung baru merupakan bentuk respon dari pemerintah Hindia Belanda terhadap Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang ingin mengembangkan riset-riset ilmiah terhadap sejarah di wilayah Hindia Belanda dan sekitarnya.
            Pada tahun 1871, Raja Chulalongkorn dari Thailand menghadiahkan patung gajah yang terbuat dari perunggu, dimana patung tersebut saat ini dapat dilihat di halaman depan museum. Oleh karena itulah masyarakat menyebutnya dengan nama Museum Gajah.
            Setelah Indonesia merdeka, museum tersebut dikelola oleh Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Pada tanggal 17 September 1962 LKI menyerahkan pengelolaannya kepada pemerintah Republik Indonesia, dan lembaga yang diberikan wewenang untuk mengelola adalah Direktorat Jenderal Kebudayaan, dibawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sejak tanggal 28 Mei 1979 nama resmi yang diberikan untuk museum tersebut adalah Museum Nasional Republik Indonesia. Pada tahun 2005, Direktorat Jenderal Kebudayaan dipindahkan dibawah naungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

v  MONUMEN PROKLAMATOR
            Monumen untuk mengenang peran Soekarno-Hatta sebagai tokoh yang memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB bertempat di Gedung Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Monumen Soekarno-Hatta dibuat atas prakarsa Presiden Soeharto. Pembuatannya dilaksanakan pada bulan November 1979-1980 oleh beberapa pematung diantaranya: Jr. Budiono Soeratno, I Sardono Sugiyo, Y. Sumartono, Drs. Nyoman, dan G. Sidarta Sugiyo. Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1980 diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto.
            Monumen Soekarno-Hatta terletak di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Monumen ini mengandung nilai-nilai sejarah yang mengantarkan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Beberapa pertimbangan dibangunnya patung kedua tokoh tersebut antara lain: a) Sebagai ueapan terima kasih dan rasa hormat kepada tokoh proklamator bangsa Indonesia; b) Gagasan ini lahir saat Presiden Soeharto meresmikan Gedung Joang 45 tahun 1974 dan peresmian makam Soekarno di Blitar, tahun 1979; e) Sebagai peringatan bahwa di tempat tersebut proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945.
            Secara fisik monumen Soekarno-Hatta terdiri dan Patung Soekarno yang dibuat dan bahan perunggu dengan tinggi 4,60 m; Patung Bung Hatta dibuat dari bahan perunggu dengan ketinggian 4,30 m; Naskah Proklamasi terbuat dan bahan perunggu; Elemen Latar Belakang berupa relung-relung segitiga yang berjumlah 17 buah dan terbuat dan bahan marmer Tulungagung.

v  MUSEUM SATRIA MANDALA
            Museum pusat ABRI. Merupakan gedung yang besar dan megah. Gedung ini dahulu bernama Wisma Yaso, terletak di Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan dan dibangun pada tahun 1960. Semula gedung ini merupakan tempat kediaman Nyonya Ratna Sari Dewi Sukarno, salah satu isteri Presiden Sukarno. Gagasan untuk mendirikan museum ABRI dicetuskan oleh Kepala Pusat Sejarah ABRI saat itu, Drs. Nugroho Notosusanto. Pembangunannya dimulai sejak 15 November 1971, selesai tahun 1979, dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 5 Oktober 1972. Menampilkan secara visual tahapan-tahapan perjuangan rakyat Indonesia.
            Tujuan didirikannya museum ini adalah mengabadikan peristiwa-peristiwa bersejarah dari perjuangan bangsa Indonesia yang berintikan TNI/ABRI sejak Proklamasi 1945, serta menyimpan dan memamerkan benda-benda peninggalan yang memiliki aspek Hankam/ABRI. Satria Mandala berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya lingkungan keramat para ksatria. Museum Satria Mandala memiliki berbagai koleksi, seperti naskah, miniatur, diorama, foto dokumentasi, senjata dan peralatan ABRI. Di museum ini juga dipamerkan berbagai replika kapal perang serta alat-alat yang dipergunakan pada operasi TNI-AL, misalnya KRI Pattimura yang berjasa di dalam operasi Jaya Wijaya di perairan Irian Jaya, Operasi Cakra I & II, dan kapal KRI Macam Tutul. Kelompok pesawat terbang yang dipamerkan adalah dalam bentuk asli, antara lain AT-16 Harvard dari AS, B-25 J. Mitchel yang pernah dipakai dalam penumpasan pemberontakan Andi Aziz di Ujung Pandang, RMS, DI/TII, PRRI/Permesta serta Trikora dan Dwikora; P-51 Mustang yang terkenal dengan sebutan Cocor Merah karena selongsong baling-balingnya berwarna merah; RI 001 Seulawah yang setelah selesai tugas militer dihibahkan kepada Garuda Indonesia Airways; Helikopter MI-4. Museum Satria Mandala memiliki beberapa ruangan yang dipergunakan untuk menyimpan benda-benda peninggalan, yaitu Ruang Panji, Ruang Jenderal Soedirman, Ruang Jenderal Oerip Soemoharjo.

v  HOTEL INDONESIA
            Berbagai hotel didirikan di kota metropolitan ini. tetapi dari berbagai hotel di Jakarta, ada satu hotel yang bersejarah bagi Indonesia, Hotel Indonesia. Hotel Indonesia adalah hotel berbintang yang dibangun pertama kalinya di Indonesia. Hotel ini resmi dibuka pada tahun 1962. Saat itu, hotel tersebut dibangun untuk menyambut Asia Games keempat yang diadakan di Indonesia pada saat itu.
            Hotel Indonesia adalah hotel di Jakarta yang dibangun di atas tanah yang berukuran 25.082 meter persegi. Untuk desain arsitektur hotel tersebut dirancang oleh pasangan arsitek asal Amerika Serikat, Abel Sorensel dan Wendy. Setelah hotel ini dibangun, hotel ini diberi slogan yang cukup unik bila didengar ditelinga, A Dramatic Symbol of Free Notions Working Together.
            Anda juga tak perlu heran jika hotel ini masuk dalam salah satu cagar budaya yang sudah diresmikan olah pemerintah kota Jakarta karena memang hotel ini banyak mengambil peran dalam sejarah bangsa Indonesia. Itu terlihat dalam desain-deain hotel yang mempunyai unsur kebudayaan di dalamnya.
            Nilai sejarah yang ada dalam Hotel Indonesia terlihat dalam setiap sudut ruangan dalam hotel tersebut. Di bagian luar hotel terdapat relief yang bernuansa jadul yang diberi judul “Gadis-Gadis Bhinneka Tunggal Ika”. Ada pula ruangan yang dulunya sering digunakan presiden Soekarno untuk mengadakan acara-acara negara.
            Ruangan tersebut dinamakan Baliroom karena nuansa yang tercipta berhubungan dengan sejarah yang pernah ada. Selain itu, unsur-unsur seni juga membuat hotel di Jakarta yang terkenal ini menjadi lebih indah. Unsur seni tampak pada patung “Gadis Kerikan” yang berada di dekat kolam hotel tersebut. Unsur seni dan unsur budaya tersebut menjadikan hotel Indonesia layak mendapat disebut dengan hotel yang bersejarah di Jakarta karena panorama yang disuguhkannya benar-benar menggambarkan ciri khas dan histori bangsa Indonesia.
            Kini, usia hotel ini sudah hampir setengah abad dan sudah mengalami beberapa kali renovasi. Tetapi, dalam hotel tersebut masih sangat kental dengan segala bentuk kenangan dari sejarah. Hotel ini sudah sudah beberapa kali berganti pengelola. Pengelola pertama hotel ini adalah PT. Natour, kemudian diambil alih oleh Kempinski Group sampai sekarang.
            Sehingga, nama hotel tersebut disesuaikan dengan nama pengelolanya, yaitu Hotel Kempinski. Jika Anda bingung untuk memilih tempat singgah ketika Anda berkunjung di Jakarta, tak ada salahnya jika Anda memilih hotel Indonesia dari beberapa hotel di Jakarta. Selain kenyamanan yang akan Anda dapat, Anda juga bisa napak tilas sejarah bangsa Indonesia di hotel tersebut.

v  MUSEUM TAMAN PRASASTI
       Museum Taman Prasasti Jakarta terletak di Jl. Tanah Abang 1, Jakarta, yang bisa dicapai melewati Jalan Abdul Muis. Museum Taman Prasasti barangkali adalah satu-satunya museum luar ruangan di Jakarta, dimana hampir semua koleksi prasastinya berada di udara terbuka tanpa pelindung. Mungkin karena sebagian besar prasasti itu terbuat dari batu alam, marmer atau perunggu yang tahan terhadap perubahan cuaca.
            Museum Taman Prasasti Jakarta mulanya kompleks kuburan Belanda, Kerkhof Laan, yang kemudian dikenal sebagai kuburan Kebon Jahe Kober. Kuburan seluas 5,5 ha di tanah hibah Van Riemsdijk itu dibangun tahun 1795 untuk menggantikan kuburan di samping gereja Nieuw Hollandsche Kerk, sekarang Museum Wayang, dan dari Gereja Sion Jakarta, akibat larangan Daendels untuk tidak mengubur mayat di sekitar gereja dan tanah pribadi.
            Kuburan Kebon Jahe Kober itu ditutup pada 1975 karena tidak ada lagi ruang tersisa. Semua mayat di Pemakaman Kebon Jahe Kober kemudian dipindahkan ke pemakaman lain, seperti Menteng Pulo dan Tanah Kusir, dan dijadikan Museum Taman Prasasti yang secara resmi dibuka oleh waktu itu Gubernur DKI Ali Sadikin pada 7 Juli 1977 dengan koleksi prasasti, nisan, tugu, dan makam sebanyak 1.372. Saat ini luas museum ini tinggal 1,3 ha.
            Museum ini menjadi semacam tempat pamer karya seni kubur masa lampau yang keindahannya melebihi seni kubur masyarakat umum sekarang ini, dan menjadi menarik dan informatif jika ada penjelasan di setiap prasasti. Penjelasan semacam itu membuat pengunjung memahami latar sejarah dan mendapat manfaat dari kunjungan mereka.
            Pintu masuk Museum Taman Prasasti yang saat itu terlihat agak kotor dan temboknya sudah memerlukan cat ulang. Ruang parkir di halaman museum agak terbatas, namun pengunjung bisa parkir di pinggiran jalan di luar kompleks Museum Taman Prasasti. Sesaat kemudian saya sudah membayar tiket dan masuk ke area museum luar yang luas ini.
            Di area depan Museum Taman Prasasti terdapat tugu tengara yang dibuat bagi 30 orang tentara kekaisaran Jepang Kompi 19, Batalyon 16, Divisi 2, dari kota Shibata, Propinsi Nigata, Jepang. Mereka dibunuh militer sekutu di Sungai Ciantung, Desa Leuwiliang, Bogor, pada 3-4 Maret, tahun 17 Showa (1942) ketika bala tentara Jepang menyerbu Indonesia. Dua kali setahun masyarakat Jepang yang tinggal di Jakarta menyelenggarakan acara ritual di Museum Taman Prasasti Jakarta ini.
            Replika prasasti Pieter Erberveld terdapat di bagian depan Museum Taman Prasasti, yang aslinya dibuat pada April 1722. Ia dihukum mati dengan guillotine setelah gagal memimpin pemberontakan pada 1 Januari 1722. Ada pula tengara berbunyi: “Di taman ini terlukis peristiwa sepanjang masa dari goresan prasasti mereka yang pergi. Di sini pula tertanam kehijauan yang kita dambakan”.
            Di area sebelah kiri Museum Taman Prasasti Jakarta terdapat replika kereta jenasah yang dipakai membawa keranda mayat ke kuburan. Status sosial seseorang bisa dilihat dari jumlah kuda yang dipakai, dua atau empat, untuk menarik kereta mayatnya. Selain kereta jenasah, di Museum Taman Prasasti juga disimpan peti jenazah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta.
            Museum Taman Prasasti juga menyimpan batu nisan Soe Hok Gie (1942-1969) dan Miss Riboet yang menjadi primadona Miss Riboet Orion, perkumpulan Opera Komedi Stambul yang terkenal di Batavia pada tahun 1920-an di bawah pimpinan Tio Tik Djien, suami Miss Riboet. Perkumpulan Sandiwara Miss Riboet Orion berakhir pada 1934, saat penulis naskahnya Njoo Cheong Seng dan Fifi Young pindah ke Opera Dardanella.
            Pusara Miss Riboet bertulis “Atas Dasar Mutlak Tjinta Sutji-Murni Selama Ampir 50 Taoen Telah Hidup Rukun- Beruntung – Beredjeki Dlm Persahabatan Suami Estri: ‘S/U Riboet (Al Miss-Riboet), Lahir di Atjeh: 24 Dec. 1900, Meninggal Di Djak. 19 Apr. (Paskah) 1965 dan T.D.Tio Jr. Tio Tik Djien Lahir Di Ngandjuk 2 Dec. 1895 Menjusul. God’s Groote Liefde Kasih Tuhan Jg Mahaesa Dasar-Mutlak Bagai Penghidupan dan Segala Jg Hidup & Ingin Hidup.” Tio Tik Djien meninggal pada 1972 di Jakarta.
            Patung wanita terbuat dari batu pualam dalam posisi berbaring miring dengan kepala bertelekan bantalan dan tangan menangkup wajah. Pada prasasti kubur di kiri belakangnya tertulis “Rustplaats van onzen geliefden zoon Hendrik Daniel Beisser Machinist b.d. Gouv. Marine Geb. te Padang 5 Januari 1882. Overl. in de Indragiri rivier 18 Juni 1904”.
            Di Museum Taman Prasasti bisa dilihat prasasti dari tokoh berkebangsaan Belanda serta Inggris seperti A.V. Michiels (yang memimpin tentara Belanda dalam Perang Puputan Jagaraga Kerajaan Buleleng), Dr. H.F. Roll (Pendiri STOVIA, Sekolah Kedokteran zaman Belanda, 1867-1935), dan J.H.R. Kohler (perang Aceh).
            Ada pula prasasti kubur Olivia Marianne Raffles (istri Thomas Stamford Raffles, meninggal 1814), dan Kapitan Jas yang makamnya dikeramatkan sebagian orang karena konon bisa memberi kesuburan, keselamatan, kemakmuran dan kebahagiaan. Di ujung belakang Museum Taman Prasasti terdapat deretan bekas kuburan dan prasasti yang menempel pada tembok dinding.
            Jika anda ke Museum Taman Prasasti Jakarta, cobalah temukan sebuah prasasti dengan tulisan “SOO GY. NU SYT.WAS.IK VOOR DEESEN DAT.JK, NV BEN SVLT GY OOK WEESEN yang berarti “Seperti Anda sekarang, demikianlah Aku sebelumnya. Seperti Aku sekarang, demikianlah juga Anda kelak”. Semoga Anda bisa menemukannya.