NOT LIKE STRAWBERRIES
Written by Faiza Nazari as chosupia in Orange World
Aku berlarian di antara pohon-pohon stroberi yang tingginya tidak melebihi
diriku. Menaiki dan menuruni bukit, dimi menghindari seorang lelaki yang kini
juga berlari, tetapi ia tertinggal jauh di belakang sana. Aku heran, kenapa ia
kuat sekali, padahal aku sudah mulai lelah. Keringat bercucuran dari dahiku,
kaki-kakiku mulai pegal dan terasa lemas, serta hembusan napasku yang sudah
tidak beraturan.
Aku terjongkok di sembarang
tempat. Tidak peduli jika lelaki yang di wajahnya ada noda stroberi yang cukup
banyak menangkapku. Aku sudah lelah. Aku memakan sisa stroberi di tanganku.
Hmm... manis sekali. Aku bangga punya kebun stroberi sendiri-sebenarnya kebun
ini punya ayahku, tapi karena aku anaknya, berarti kebun ini juga milikku, kan?
Iya,kan? Iya, kan? Bilang saja iya, apa susahnya, sih?
"Kena, kau!" lelaki
yang tadi mengejarku berseru keras. Kini ia ikut terjongkok di hadapanku.
Aku mendengus kesal. Aku sudah
tau apa yang ingin ia lakukan. Dia meremas satu buah stoberi di genggamannya.
Setelah itu terlihatlah cairan merah di tangannya saat ia membuka kelopak
tangannya. Ia menyeringai sesaat, dengan perlahan, ia mengoleskan cairan itu di
kedua pipiku. Jadilah sekarang aku seperti seorang badut. Cuma bedanya, kalau
badut noda merahnya kebanyakan di hidung, sedakan aku di kedua pipiku.
Sialan, dia malah menertawaiku.
Tapi tunggu, tawanya sangat indah. Oh bahkan saat wajahnya tidak bersih pun dia
begitu sangat menawan. Ya Tuhan, kenapa dia begitu sempurna di mataku.
"Kau harus lihat wajahmu, Ra!" dia malah mengejekku.
Aku mengusap wajahku dengan kedua
telapak tanganku. "Awas kau, ya..." ancamku.
Sekarang, dia malah lari sebelum
aku mengejarnya, padahal aku baru saja bangkit dari dudukku. "Sini kau,
Adam!" teriakku.
Aku berlari mengejarnya. Di depan
sana-agak jauh-Adam menoleh ke belakang dan mengulurkan lidahnya. Mengejekku.
Belum tau rupanya dia seberapa cepat aku berlari. Aku mencoba menyusulnya,
berlari sekuat tenaga. Dia masih di depanku, namun jaraknya semakin berkurang.
Sekarang kira-kira tinggal tiga meter lagi. Semangat Dira, kau akan menangkap
Adam.
Dan, hap! Aku memegang salah satu
lengannya. Ia tersentak, menoleh ke belakang. Aku suka ekspresi wajah
kekalahannya. Aku juga suka sebenarnya mendengar dia menggumamkan ampunan. Aku
menang. Aku tertawa sekencang-kencangnya.
Adam terlihat lelah sekali.
Napasnya tidak beraturan, "Memang pantas kau memenangkan juara pertama di
lomba marathon dua bulan lalu. Bahkan kau bisa membalap orang yang sedang
berlari di depanmu dengan jarak lima meter lebih dengan keadaan menanjak."
Aku melepaskan genggaman
tanganku. Adam sudah lemas, ia akhirnya terduduk di tanah. Aku yang masih
berdiri, bertolak pinggang, menatap Adam dengan tatapan angkuhku, "Masak
sama perempuan saja kalah!"
"Aku tidak peduli kau
menang," ucap Adam yang masih ngos-ngosan dengan acuh.
Aku hanya terkikik geli melihat
sikap Adam yang sekarang, seperti anak kecil. Aku ikut duduk di sampingnya.
Melepas kepenatan kami di-hampir-atas puncak, menikmati hembusan anginsejuk di
pagi hari ala pegunungan.
Jujur saja, aku sangat suka
berada di sampingnya. Ini rahasianya, baiklah, akan aku beri tau kalian. Aku
suka Adam. Ya, aku suka Adam, sahabat kecilku. Apakah dia tahu? Tentu saja
tidak. Tidak ada yang tahu. Mungkin sehabs ini, kau yang akan tahu. Jika dia
tahu, mau ditaruh mana muka cantikku ini. Ya, memang aku cantik. Jika kalian
berkata: 'Kalau kau cantik, kenapa Adam tidak menembakmu?', aku akan bilang
kalau Adam itu buta.
Adam
bangkit dari duduknya. Aku mendongakkan kepalaku, "Mau kemana?"
"Cuci muka, mau ikut?"
aku mengangguk mendengar tawarannya. Adam mengulurkan tangannya. Aku pun
menerima uluran tangan Adam dan bangkit dari dudukku.
Kami berjalan ke salah satu
gubuk-yang ayah bangun-di salah satu sudut kebun ini. Di samping gubuk itu, ada
sebuah keran yang mengalirkan air asli dari pegunungan.
Adam membuka kerannya sehingga
air mengalir deras. Lalu ia meletakkan tangannya di bawah aliran air, menampung
air yang mengalir dari keran. Setelah di tangannya sudah berisi cukup penuh
airnya, ia mengusapkannya ke wajahnya. Aku melakukan hal yang sama seperti Adam
setelah Adam selesai.
Setelah penampilan kami sudah
bersih, kami berdua duduk di gubuk itu. Memandangi para karyawan ayahku yang
tengah bekerja. Tak lama kemudian, ayahku datang membawakan kami sebaskom kecil
yang berisi stroberi. Stroberi itu segar. Dipetik langsung dari kebunnya.
Warnanya merah segar.
Kami berdua memakan stroberi itu.
Hmm... rasanya sama seperti yang aku makan. Manis. Kadang, aku suka ingin tahu,
metode apa yang digunakan ayahku untuk menanam stroberi ini sehingga rasa
stroberi ini begitu manis? Aku adalah anak-satu-satunya. Kata ayahku, akulah
yang akan mewariskan kebun stroberi ini. Itu berarti aku harus belajar semuanya
dari ayah mulai dari sekarang. Tapi apa? Hingga umurku delapan belas tahun pun
ayah belum juga mengajariku metode penanamannya.
Sehabis ayahku membawakan
sebaskom kecil stroberi dan kami sudah mengabiskannya, salah satu karyawan ayah
membawakan kami dua gelas yang berisi jus stroberi. Hmm... aku suka itu.
Tanpa basa-basi, kami berdua
meminumnya.
"Hmm... rasa stroberimu
memang yang terbaik, Ra! Manis banget!" puji Adam. Lalu ia kembali meminum
jusnya.
Aku memasang mimik wajah angkuh,
"Iyalah, manis. Kayak yang punya." Aku mengacungkan jari telunjuk
kananku dan jari tengah kananku sambil tersenyum.
"Iya, deh, iya!" respon
Adam.
Ingin rasanya aku berlama-lama
duduk seperti ini bersama Adam. Bahkan kalau bisa selamanya. Jujur saja, aku
merasa nyaman sekali dekat dengannya. Adam yang umurnya satu tahun lebih tua
dariku sudah bisa membuatku nyaman. Bersama Adam, aku merasa baik-baik saja.
Waktu itu, Adam pernah bilang
padaku kalau ia menganggapku sebagai adiknya. Di saat itu hatiku langsung remuk,
aku seakan ingin menangis. Tapi aku adalah orang yang mudah bersandiwara.
Terima kasih Tuhan, kau memberiku anugerah muka jutek ini padaku. Ditambah lagi
dengan sikapku yang acuh tak acuh. Tersembunyi dengan baiklah rasa sedihku itu.
Waktu itu, Adam pernah bilang
padaku: 'Jangan jutek-jutek jadi cewek. Nanti kamu susah cari jodohnya!'
Di saat ia mengatakan seperti
itu, aku hanya diam. Dia tidak tau kalau dalam waktu sebulan, aku bisa membuat
lebih dari tiga lelaki membuat mencintaiku dan menyatakan perasaanya. Tetapi
aku menolaknya, bahkan yang lebih tampan dari dia sekalipun. Eh tidak-tidak,
tidak ada yang lebih tampan dari Adam. Kalian lihat? Betapa setianya aku.
Betapa bodohnya aku.
Ponsel Adam tiba-tiba berdering.
Adam mengangkatnya. Aku melihat Adam berbicara dengan orang yang sedang
meneleponnya sambil tersenyum. Apa dia sedang berbicara dengan pacarnya?
Tidak-tidak, aku harus berpikir positif. Bisa saja itu dari keluarganya atu
dari kerjaannya.
"Siapa?" tanyaku
setelah ia selesai menelepon.
Adam tersenyum lebar, "Kau
tau Prita, kan? Dia baru saja menerimaku. Sekarang aku resmi menjadi pacarnya,
Ra. Aku resmi." Adam mengguncangkan bahuku.
"Besok, aku akan
mentraktirmu tahu bulat. Sampai jumpa!" ucapnya sebelum ia pergi.
Kini aku dudk sendiri. Menatap
Adam yang sedang berlari menjauhiku. Adam menembak Prita. Jika kalian ingin
tau, aku, Adam, dan Prita adalah sahabat kecil. Sebenarnya ada satu lagi,
namanya Rio. Dia sudah pindah ke ibukota. Dulu, Rio menyukaiku, menembakku,
tetapi aku tolak. Tapi aku menolaknya. Kenapa? Karena aku terlalu menyayangi
Adam, terlalu mencintai Adam.
Nyatanya apa sekarang? Adam
mencintai Prita. Prita juga mencintai Adam. Adam tampan. Aku akui, Prita
cantik. Mereka berdua cocok.
Aku duduk di sini sendiri. Ayahku
sibuk memantau karyawan-karyawannya serta memeriksa kualitas stroberinya. Jadi,
tidak ada yang tau kalau aku menangis. Lagi pula, aku menangis tanpa suara.
Tetapi jika melihat wajahku yang sudah berlumuran air mata, mereka baru tahu
kalau aku menangis. Sial, kenapa kisah cintaku tidak semanis stroberi yang
ditanam ayah dan karyawan ayahku?